Berjalan dan Berjalan Lagi

Kemarin, untuk pertama kalinya aku melakukan perjalanan menggunakan bus Trans Jogja. Naik dari halte bus di depan J-Walk, aku turun dua kali; pertama di halte Blok-O untuk transit jurusan, kemudian di halte pakualaman, tujuanku persis terletak di belakang sana. Aku mau makan Ayam Goreng Cak Yunus.

Aku pergi bersama Nata, sahabatku yang sangat ceriwis dan suka marah-marah tapi aku sayang sekali dengannya. Perjalanan siang itu sudah kami rencanakan seminggu sebelumnya. Saat aku merencanakannya, yang ada di kepalaku adalah, kami duduk di dalam bus Trans Jogja yang sepi, menikmati jalanan Yogyakarta yang tiba-tiba saja sudah sangat lekat dalam ingatan. Kami mungkin akan terbawa suasana yang melankolis. Kalau cuaca sedang mendung atau malah turun hujan, itu mungkin akan jadi perjalanan yang terapeutik. Aku jadi bersemangat, tapi bukan hanya karena itu, antusiasmeku menjadi seperti kobaran api yang disiram minyak tanah lantaran perjalanan itu adalah perjalanan kami berdua, perjalananku dan sahabatku yang tersayang.

Aku kenal Nata sekitar tahun 2017-2018. Kami menjadi akrab ketika pada suatu malam yang tidak direncanakan, kami memutuskan untuk menonton film Love for Sale ditemani sebotol anggur. Aku bisa merasakan kecocokan kami ketika menyelesaikan film itu, kami berada dalam frekuensi yang sama, walau saat itu kami belum menyadarinya. Bertahun-tahun kemudian, aku baru mencernanya, kami punya energi ini: energi yang kerap dijumpai di film-film Noah Baumbach, energi remuk redam orang-orang dewasa yang dihancurkan oleh impian dan harapan. Kami adalah anak-anak yang gemar bermimpi dan berusaha mati-matian mewujudkan mimpi itu walaupun terseok-seok. Kami kalah, bangun, kalah lagi, bangun, tapi kami masih berjalan hingga hari ini.

Aku menganggap perjalanan kami kemarin adalah perjalanan kehidupan hahaha. Beginilah kalau terlalu sering menonton film dan membaca buku-buku berlabel sastraaaargh. Tapi aku tidak membual. Soalnya, kehidupan selalu begitu kan? Hanya indah ketika direncanakan, tetapi begitu dijalani, badai datang membawa perasaan-perasaan tidak nyaman yang bikin mual, muak, dan sesak napas. Lucunya, setelah badai benar-benar datang, baru semua terasa indah.

Apa yang aku bayangkan ketika merencanakan perjalanan kemarin tidak sama dengan perjalanan yang sebenarnya. Kami tiba di halte J-Walk sekitar pukul 12.45. Jalanan babarsari penuh sesak dengan anak-anak muda yang memakai toga, jubah hitam, riasan tebal, baju bagus, teman-teman yang memberi selamat, buket-buket bunga yang cantik, dan orang tua yang berkeringat. Anak-anak Atmajaya sedang merayakan kelulusan. Kerumunan orang tumpah di jalan dan membikin bus Trans Jogja enggan menepi ke halte tempat kami menunggu. Normalnya, bus datang setiap 20 menit sekali, tapi siang itu, siang yang terik menyengat, bus baru datang lebih dari 90 menit kemudian. Itu pun bus dengan jalur berbeda yang mengharuskan kami turun di halte Blok-O lalu menunggu 20 menit lagi untuk menuju halte pakualaman. Perut kami sudah keroncongan, kami belum sarapan, belum makan siang. Untungnya, Nata bawa air putih dan camilan. Kami ngemper di belakang halte, dengan gaun dan lipstick tebal, sambil makan snack French Fries yang bungkusnya berwarna merah terang. Jajanan itu sudah ada sejak aku masih SD dan sampai sekarang sausnya masih saja enak. Kami menghabiskannya dalam hitungan menit. Tapi perut kami masih lapar dan bus belum juga datang. Untungnya, di seberang halte, ada tukang buah keliling yang sedang mencari peruntungan di tengah-tengah wisudawan. Aku memesan sepotong buah melon, mangga muda, dan nanas. Buah melon untukku sementara Nata makan mangga muda dan nanas. Kami masih duduk-duduk di emperan. Nata mengomel setiap dua menit sekali.

Buah habis, kesabaran kami juga.

Nata mulai menawarkan beragam opsi supaya agenda kami jalan-jalan hari itu tetap terlaksana, walau tanpa bus. Tapi, lagi-lagi, seperti kehidupan, tepat ketika kami ingin menyerah, bus berwarna hijau kuning itu mulai merayap pelan memasuki jalanan babarsari. Seperti ikan paus di ujung horizon, badan bus yang besar menyembul di tengah kerumunan orang-orang bertoga. Nata dengan sepatu boots-nya menapaki tangga halte dan kami menghitung laju bus yang sangat lambat. Menunggu memang tak pernah jadi pekerjaan yang mudah.

Kami menaiki bus bersama serombongan keluarga. Seorang ibu dengan dua anak gadisnya. Mereka tampak sama antusiasnya dengan kami. Kurasa mereka juga baru pertama kali menaiki bus Trans Jogja karena sempat bertanya perihal rute kepada petugas. Sang ibu dengan suara penuh kecemasan juga berkali-kali bertanya dimana letak halte Blok-O, berapa lama perjalanan ke sana, dan “Apakah kita sudah sampai?” setiap kali bus menjemput penumpang ke halte terdekat.

Penantian yang tidak sia-sia. Perjalanan terapeutik dimulai. Kami duduk di bangku paling belakang. Bus cukup lengang, seperti dugaanku. Orang-orang Jogja lebih suka naik sepeda motor dibanding kendaraan umum. Saat aku tinggal di Semarang, bus Trans Semarang jauh lebih padat dari ini, apalagi setiap pagi dan sore hari, ketika buruh, pedagang, dan pekerja kerah putih berjejalan menuju keberangkatan dan kepulangan masing-masing.

Aku mulai berlagak seperti tokoh utama dalam sebuah film. Duduk termenung di bangku belakang, membiarkan segalanya bergerak di sekitarku, sementara aku membeku di atas kursi bus warna-warni. Lima tahun yang lalu, ketika pertama kali datang ke Jogja, aku sangat pusing dengan jalanan kota ini. Ring road, jalan searah, jalan tikus, gang-gang kecil, perumahan yang seperti labirin, aku gelagapan memahaminya. Berkali-kali tersesat, maju mundur dipermalukan peta Google, kebablasan dan harus memutar, jalanan kota Jogja kelewat rumit bagi kepalaku yang sudah ruwet. Tapi aku bertahan. Lalu, sekonyong-konyong, dari dalam bus Trans Jogja, jalanan itu sudah tak lagi asing. Aku memandanginya seperti kawan lama. Jogja adalah kota yang buruk, sangat buruk, dengan UMR rendah, kekerasan di jalan raya yang mengintai, dan ruang publik yang nyaris tidak ada. Bagi seorang penulis, menyerap sari-sari kehidupan di tempat terbuka yang gratis diakses oleh publik di Jogja adalah mimpi siang bolong. Apalagi malam hari, itu lebih tidak masuk akal. Menulis di kafe artinya kamu harus membeli segelas kopi seharga 25 ribu, lalu kalau tenggorokan kamu kering karena kafein, kamu harus membayar 5-10 ribu lagi untuk sebotol air putih. Belum kalau perutmu lapar. Biaya menulis di Jogja sudah pasti mahal, kalau menuruti bayangan orang-orang tentang bagaimana pekerjaan menulis dilakukan.

Lucunya, aku masih belum mau meninggalkan kota ini. Aku masih ingin di sini, tertawa dan bersedih dengan sahabat-sahabatku, menyusuri jalanan Jogja, naik bus Trans Jogja lagi, pergi ke kafe-kafe dan pulang sambil menggerutu karena harganya mahal, berhemat dengan makanan-makanan murah yang enak. Aku masih ingin di sini, sendiri atau dengan kekasihku.

Beberapa bulan terakhir, hidupku penuh dengan keanehan-keanehan. Berpisah, bertemu, membenci, jatuh cinta, menangis, tertawa, terisak, terseok, tersenyum, berpelukan, terantuk, terjaga semalaman, teriak, berbisik, terjungkal tetapi berdiri lagi. Kadang-kadang aku kewalahan mencerna emosi. Segalanya berjalan dengan kecepatan tinggi. Aku mabuk perjalanan. Perutku mual dan perasaan-perasaan tidak menyenangkan ini punya hasrat besar untuk keluar dan mengotori segala sudut ruangan. Aku beneran muntah, tapi tidak di dalam bus. Di dalam bus, aku justru menyublim. Kepalaku ringan, seringan permen kapas. Aku sudah berjalan sejauh ini dan aku masih mau berjalan dan berjalan lagi.

Bus merapat ke halte pakualaman, aku mengucapkan selamat tinggal kepada petugas, kepada ibu dan dua anak gadisnya yang antusias, kepada sopir bus yang bersiul kencang sekali sepanjang perjalanan. Aku juga, mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihku sembari berpegangan pada tiang-tiang halte yang berkarat.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.