Pindah ke Jalan Damai

Seandainya saja rumah kos Lennon bukan di Jalan Damai, barangkali malam itu aku enggak jadi main. Kalau enggak jadi main, barangkali kami bakal berakhir lain.

Selama tinggal di Yogyakarta aku tiga kali menyewa kamar: di Jalan Kaliurang, Jalan Gejayan, lalu kembali lagi ke Jalan Kaliurang. Buat orang yang pernah tinggal di Semarang, bagiku kota Yogyakarta nggak besar. Tidak banyak jalan raya yang bahkan muat untuk dibagi menjadi tiga ruas seperti misalnya di bagian pusat kota Semarang: Jalan Pemuda.

Jalanan di kota dengan puluhan kampus ini kebanyakan hanya tinggal lurus, belok-belok sedikit, dan berakhir dengan Ring Road. Istilah Ring Road sendiri aku baru mengenalnya sewaktu tiba di Yogyakarta, sekitar 14 bulan yang lalu. Sampai saat ini aku masih kesulitan membedakan Ring Road dengan perempatan besar yang biasa aku temui saat harus bergerak dari satu jalan ke jalan yang lain. Dua-duanya sama besarnya dan sama-sama berbentuk perempatan. Gara-gara gagal memahami ini aku jadi sering tersesat saat mencari alamat. Pengetahuanku soal jalan raya benar-benar buruk. Untungnya dari tempatku di Jalan Kaliurang ke Jalan Damai tidak butuh peta yang rumit. Nggak sampai lima belas menit dan tidak perlu lewat perempatan besar. Gampang. Meskipun tentu, sekali dua kali masih saja salah jalan.

Jalan Damai memang damai seperti namanya. Itu kata Lennon, suatu ketika.

“Tahu nggak, Tan? Kenapa Jalan Damai namanya Jalan Damai?”

“Nggak tahu. Kenapa?”

“Ya karena damai. Lihat dong,” kata Lennon dibarengi tawa kecil. Aku cuma diam, tidak berhasil menangkap dimana lucunya.

Setelah itu ia baru mulai presentasi: menyebut tempat-tempat makan, akses ke pusat kota, serta lingkungan yang relatif tidak ramai meskipun banyak pusat keramaian. Semuanya merujuk buat menjelaskan alasannya menyebut Jalan Damai terasa damai baginya. Kami mengobrol di atas motor, aku yang kebetulan sedang membonceng di belakang lamat-lamat mengamati sekitar. Indomaret, burjo, warung makan nasi padang, kios belanja sayur, cafe, warung kopi, klinik kesehatan, bengkel. Memang relatif lebih lengkap daripada daerah tempat tinggalku sebelumnya. Bagi anak kos, fasilitas semacam ini tentu saja sangat memudahkan mobilitas.

Aku yang memang saat itu (dan sampai sekarang haha) nggak punya banyak teman di Yogyakarta sontak jadi sering main ke tempat Lennon. Kamar kosnya kecil dan kamar mandinya barengan dengan yang lain. Banyak buku, majalah, dan printilan-printilan lain semacam stiker di kamarnya yang sangat asing bagiku. Kami memang nyaris membaca buku dan majalah yang berbeda, menonton film yang berbeda, dan tentu saja yang paling kentara: mendengarkan musik yang jauh berbeda. Lennon membaca On The Road, aku membaca Para Priyayi. Lennon menonton Juno, aku menonton Spirited Away. Lennon mendengarkan Vampire Weekend, aku paling gaul mendengarkan Efek Rumah Kaca. Itu belum termasuk dengan ketertinggalanku yang baru pertama kali memutar piringan hitam lewat Turntable saat main ke tempatnya. Rasanya norak banget waktu pertama kali mencoba memutar piringan hitam.

“Kok suaranya kotor gitu?” tanyaku.

“Namanya juga vinyl, Tan. Mau jernih ya Spotify.”

Duh.

Tapi setelah itu aku lantas jadi keranjingan memutar. Koleksi piringan hitam Lennon sedikit: hanya beberapa keping album The Beatles, sebuah album dari Karen Young, dan satu keping kecil piringan hitam dari Everly Brothers. Pernah aku iseng mengejeknya karena ini.

“Dibawa kamu tahu lah siapa.”

Aku terkikik. Urusan putus cinta kadang-kadang memang sampai juga ke benda-benda. Semula berbagi kemudian kehilangan. Bukan cuma hubungannya tapi juga barang-barang kepemilikan. Aku sendiri pun tidak jauh berbeda. Nyaris setiap pasangan yang akhirnya berpisah ku pikir pasti pernah mengalaminya: kehilangan pasangan lalu kehilangan barang milik.

Seandainya saat itu aku tidak nekad menghubungi Lennon, barangkali hidupku bakal tetap baik-baik saja. Seperti sekarang ini. Hanya mungkin masih sering galau di media sosial dan ku akui itu norak sekali. Menjadi Attention Seeker. Periode putus cinta, merasa kesepian, sedih karena berpisah memang bisa membuat seseorang menampilkan sisi paling lemahnya. Aku merasa beruntung telah melewatinya. Meskipun kadang-kadang aku sempat kangen bersedih. Banyak karya seni yang lahir dari kesedihan. Lennon bilang musik Blues lahir dari kesedihan. Aku berharap kesedihanku melahirkan cerita pendek. Kenyataannya tidak. Cerita pendek lahir dari konsistensi menulis sementara kesedihan tidak berhasil mendorongku menulis setiap hari.

Lennon punya gudang cerita yang isinya macam-macam: masa kecilnya di Jember, pengalaman tinggal di asrama, putus cinta, naik gunung, nonton konser. Aku jadi sering memintanya bercerita. Topik obrolan kami jadi sangat personal. Aku merasa punya teman. Seperti kembali ke masa-masa sekolah: berteman, bermain, mendengarkan, mengalir saja.

Sekarang sudah hampir enam bulan kami bersama. Baru sebentar. Kadang-kadang kami tertawa kalau ingat, merasa enam bulan berjalan begitu saja. Kelihatan remeh dan belum apa-apa tapi kami baru saja melewati masa sulit. Kami ingin merayakannya, aku ingin merayakannya.

Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di depan dan rasanya memang tidak perlu tahu. Tidak ada janji yang muluk-muluk. Hanya berjalan dan berjalan saja seperti umur dan kehidupan.

Kali ini aku memutuskan pindah ke Jalan Damai dan menetap.

One thought on “Pindah ke Jalan Damai

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.